BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “Politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani
Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang
berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia,
politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu
bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan
alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki.
Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik. Politics
memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan
pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan
negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan
kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan,
pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Dengan demikian, politik
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumber daya yang ada
baik SDA maupun SDM.
Menyankut tentang sumber daya manusia tentunya erat
kaitannya dengan watak budaya bangsa. Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam
pikiran dan perilaku, dibentuk oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya,
watak budaya orang pantai berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir
berbeda dengan orang lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang
khatulistiwa. Selain itu, juga dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan watak bangsa – bangsa seperti yang dikenal dalam
sejarah. Watak budaya itu dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan
ekonomi dan industri terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula
dibentuk oleh konsep pendidikan berdasar strategi politik suatu negara. (Bunga
rampai dan pemikiran A.A. Navis dalam buku “Filsafat dan Strategi Pendidikan
M.Sjafei”)
Pendidikan amat berperan terhadap keunggulan suatu bangsa.
Misalnya, bangsa Sparta 1000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, bangsa-bangsa
yang mendiami Balkan hidup terpencar dalam kota-kota kecil yang terpisah oleh
gunung dan pulau-pulau. Mereka senantiasa dilanda perang antara sesamanya. Oleh
karena itu, bangsa Sparta di bawah pimpinan Lycurgus, seorang pendidik,
membangun kekuatan dengan sistem pendidikan militer yang keras sejak anak
berusia 10 tahun. Akhirnya, Sparta disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. Tentu
saja strategi dan program pendidikan itu didukung oleh sistem sosial secara
konsisten. Kemudian, “Pendidikan Sparta” menjadi amsal (pepatah) bagi
pendidikan dengan disiplin keras.
Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah
tertinggal jauh dari bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah
strategi pendidikan dengan tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka
melaksanakan program pendidikan yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh
seluruh kekuatan sosial dan ekonomi. Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya
membangun kekuatan militer, melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan
industri. Apa saja yang ada di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata
negara, militer, industri, pendidikan, bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada
satu hal yang mereka pertahankan, yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa
Jepang yang memiliki tradisi samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari
1000 tahun. Seperti Sparta juga, dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi
bangsa-bangsa sekitarnya. Meski akhirnya kekuatan militernya terkalahkan,
semangat yang tertanam oleh sistem pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap
tampil sebagai bangsa yang kuat di bidang ekonomi.
B.
Pokok Permasalahan
Dari latar belakang diatas maka
dapat disusun hal-hal pokok atau pokok permasalahan yang menyangkut tentang
Strategi Pendidikan yang meliputi :
1. Bagaimana penerapan dan pelaksanaan Pendidikan
di Indonesia pada masa penguasaan Pemerintah Kolonial ?
2.
Bagaimana
pelaksanaan Pendidikan di Indonesia
Seusai Perang Kemerdekaan ?
3.
Bagaimana wujud Pembaruan Pendidikan Nasional ?
4.
Bagaimana Strategi Pendidikan Nasional Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Kolonial
Strategi pendidikan yang dikembangkan Belanda untuk bangsa
Indonesia ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada bangsa
Indonesia ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa yang
unggul. Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga ditanamkan
semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan berpecah-belah.
Sekolah didirikan dengan jenis dan tingkat yang
berbeda-beda. Untuk pribumi didirikan 2 tingkat sekolah : Sekolah rakyat 3
tahun dan Sekolah rakyat 5 tahun. Sekolah ini tidak ada sambungannya, selain ke
sekolah pertukangan untuk mendidik tenaga kerja di bengkel perusahaan milik
Belanda.Untuk golongan elit didirikan sekolah tingkat rendah sampai tingkat
atas berbahasa Belanda.
Sekolah berbahasa Belanda itu didirikan bukan bertujuan
untuk mendidik bangsa Indonesia agar maju, melainkan untuk disiapkan menjadi
amtenar atau pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki prestise
elitis atau priayi. Dengan begitu, seluruh orang terpesona dan bercita-cita
pula menjadi amtenar atau priayi.
Apabila kemudian diperbanyak sekolah berbahasa Belanda, itu
bukan karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar atau tenaga kerja,
melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak mereka dapat
bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas pengaruh golongan
elit “anak jajahan”.
Pembanyakan jumlah sekolah itu tentu saja berakibat pada
meningkatnya jumlah pengangguran tamatan sekolah, baik sekolah rendah maupun
sekolah menengah, karena lowongan kerja tidak sebanyak jumlah tamatan sekolah.
Kondisi dan situasi itu tampaknya tidak mengkhawatirkan pemerintah karena dari
orang-orang yang bermental “anak jajahan” tidak akan mungkin timbul dampak
politik maupun keamanan. Apabila kemudian bangsa Indonesia dapat mencapai
kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, itu karena dipelopori oleh mereka yang
telah menduduki perguruan tinggi, maka wawasan dan konsep pendidikannya jauh
berbeda dengan sekolah di bawahnya.
Oleh dominasi hasil pendidikan elistis yang feodalistik,
pada umumnya golongan menengah ke atas tidak menghayati makna demokrasi sebagai
cita-cita nasional.
Pendidikan yang berorientasi elistis juga membuat anak-anak
desa terputus hubungannya dengan tradisi dan sistem budayanya. Sawah – ladang
dan usaha kerajinan terlantar. Kalau tetap dikerjakan, hanya oleh orang – orang
yang tidak terdidik sehingga mutu produksinya tidak bisa meningkat. Akan lain
jadinya kalau lapangan kerja itu diminati orang terdidik yang mampu menggunakan
otaknya mencari dan menemukan cara yang efektif dan efisien serta mutu yang
baik.
Bagi bangsa yang merdeka, menjadi amtenar atau pekerja
kantoran tidaklah dipandang paling ideal. Yang ideal ialah bekerja di bidang
produksi. Namun, bidang itu membutuhkan orang – orang aktif, kreatif dan
produktif serta memiliki etos kerja dan semangat mandiri. Memang pemerintah
mendirikan juga banyak sekolah kejuruan. Namun, programnya untuk mendidik
tenaga kerja gajian, bukan mendidik orang terampil yang memiliki kemauan kerja
dan mandiri. Pesan yang paling tepat dalam menggambarkan hal ini adalah “Lebih
baik jadi tuan kecil daripada jadi budak besar”.
Strategi pendidikan Belanda di negerinya, sama dengan yang
berlaku pada umumnya bangsa-bangsa Eropa. Karena sistem tata negara mereka
berdasarkan demokrasi, dimana manusia sebagai individu tanpa memandang
golongan, sudah sama berwatak aktif-kreatif dan kritis dengan tradisi etos
kerja, maka program pendidikan di sana tinggal mengutamakan dan mengembangkan
nalar dan kebebasan mengeluarkan pendapat
Meskipun beberapa materi kurikulum banyak persamaan dengan
di Belanda, sistemnya jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok sudah dimulai sejak
sekolah rendah. Program dan kurikulum pendidikan di Belanda senantiasa dapat
berubah untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman, baik karena perkembangan tata
negara dan ekonomi, maupun karena ilmu dan teknologi yang meningkat. Namun, sistem
dan metode diletakkan bagi sikap mental manusia yang dinamik, yang merdeka dan
demokrasi. Dengan demikian, penghargaan tertinggi bukan pada sikap loyalitas
pada pekerja kantoran, melainkan pada prestasi dalam profesi apapun, seperti
negarawan, cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan usahawan.
Di Belanda, pemerintah tidak mendirikan sekolah lanjutan
yang berfungsi menampung murid dari sekolah di bawahnya. Istilah pendidikan
dengan pengajaran dipahami secara terpisah. Pada sekolah tingkat lebih rendah
bobot pendidikan lebih besar daripada pengajaran. Di sekolah lanjutan, bobot
pendidikan dikurangi dengan memperbesar pengajaran. Di sekolah tinggi yang
diberikan semata-mata pengajaran tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktek.
Oleh karena itu, dalam program sejak awal pendidikan murid disiapkan memikirkan
sendiri masa depannya: mau langsung bekerja dalam masyarakat atau melanjutkan
sekolah. Menjadi mahasiswa atau memakai label sarjana tidaklah dimitoskan
sebagai status sosial yang berprestise. Yang menjadi cita-cita utama ialah
bagaimana supaya bisa bekerja dan tidak sampai menganggur.
Pendidikan di Indonesia masih melanjutkan sistem pendidikan
kolonial, yaitu dengan lebih memakai sistem verbal. Murid mendengar apa kata
guru serta banyak menghafal pelajaran dan memberi banyak pekerjaan ulangan di
rumah. Murid tidak diajak berpikir untuk mengembangkan nalar secara kritis,
kemampuan mencari alternatif. Tidak diajarkan berani bertanya apalagi mendebat
dengan menggunakan dalil yang argumentatif. Yang boleh bertanya hanya guru.
B.
Pendidikan
Seusai Perang Kemerdekaan
Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai
dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi
ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas
guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan,
apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka
“menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program
dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang
kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.
Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta
kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid
agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan
lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan
karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan
umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui
pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada
bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa
keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.
Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi
perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan
wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum
menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan
mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi
mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu
mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol daripada
studi.
Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum
diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi
yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa.
Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program
pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar
yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak
petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang
peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah
bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan
bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.
Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak
mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap
tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi
dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa
tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya
maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%,
sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai
korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.
Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata”
itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya
dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi
minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya.
Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.
Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur
sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu
libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang
mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang
secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau
terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai
pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.
Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi
pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan
kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka
sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa
IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut
dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan
kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan
lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri
berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang
menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang
kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program
kurikulum “muatan lokal”.
Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi
tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula.
Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal”
itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu
mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa
hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal
dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan
rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi.
Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu
pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana
lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan
tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.
Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak
lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem
pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik,
baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah
lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang
terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk
anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya
terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak
yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan
sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak
meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid
sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.
Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah
dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal,
meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan
pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga.
Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak
akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di
sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum
dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti
pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok
, sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan
ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional
dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran,
padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap
jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja
sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik
sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang
studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu
berfungsi untuk menunda masa pengangguran.
Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak
terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota
besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi
bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan
hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak
dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena
perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang
sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan
karena keterpaksaan.
Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga
menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi.
Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas
apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak
diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja
antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat
pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.
Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik
dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau
jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan
lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk
memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya.
Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma.
Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis,
penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan
relevansi bidang studinya.
Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah
kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita
masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status
sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel
atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar
memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak
memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang
sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang
bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan
karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang
kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara
mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek
kejuruannya menjadi kian berkurang.
Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos
kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada
pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan
program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet
dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena
setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang
memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak
kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah
kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam
industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara
yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal
ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari
pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun
untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan.
Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa
masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke
sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para
pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional.
Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan
kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas
penjajah kepada anak jajahan.
Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman
Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai
penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep
pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan
menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut
harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi
kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem
feodalisme.
Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam
pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan
pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi
komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak
dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum
moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode
indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai
perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi
meningkatkan kecerdasan otak.
C.
Pembaruan
Pendidikan Nasional
Strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh
konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. Konsep
politik pemerintah lazimnya terpakai pada suatu negara yang menganut sistem
diktator. Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan
yang sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus
diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke
arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia yang
maju di jaman ini dan nanti.
Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan
nasional dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara
politik, ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada
Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan
seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia
khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental
mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan
kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan, melainkan
menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya disusun strategi,
program dan kurikulum pendidikan itu.
Maksudnya, murid tidak dituntut untuk menguasai secara
hafalan akan materi kurikulum, melainkan setiap materi kurikulum itu membantu
murid agar memiliki nalar pada otaknya. Memaksa murid agar hafal semua materi
kurikulum itu tidak menyebabkan mereka menjadi pintar dan cerdas. Cara demikian
lebih mendorong murid menjadi “pengekor”, bukan pemikir. Memberi nilai tinggi
kepada murid yang mampu menghafal sebetulnya merupakan sistem yang keliru.
Karena kebijaksanaan program pendidikan bertujuan agar
setiap murid mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka
bobot kurikulum menjadi berat ke bidang akademik. Tujuan perjuangan
nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang merdeka di tanah
airnya terabaikan. Formulasi makna nasionalisme yang dituangkan dalam Pancasila
menuntut sistem dan kurikulum yang seharusnya bermuatan untuk mengangkat
martabat manusia agar beradab, demokratis dan sejahtera. Akan tetapi, apabila
bobot kurikulum berat ke bidang akademik, hasilnya akan tidak ada bedanya
dengan pendidikan pada masa kolonial.
Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk
seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan
wawasan manusia. Akibat lanjutannya ialah memusnahkan keragaman manusia itu
sendiri. Hal itu bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan.
Penggiringan murid untuk bercita-cita utama untuk menjadi pegawai negeri atau
tenaga kerja melalui sistem dan proses pendidikan di sekolah, padahal sudah
diketahui daya tampung sangat kecil, merupakan kesalahan besar. Meski sudah sering
diomongkan bahwa bercita-cita menjadi pegawai oleh sekolah sejak dari tingkat
dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program pendidikan tidak
memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-cita yang keliru itu
dibiarkan berkembang terus.
Pendidikan pada madrasah di jaman penjajahan, tidak
menjuruskan murid agar mencari pekerjaan ke kantor. Murid disiapkan untuk hadir
dalam masyarakat sebagai warga yang mandiri. Salah satu kurikulum yang penting
ialah ilmu mantiq atau logika sehingga murid mampu mengadu argumentasi dari
suatu kebenaran yang dianutnya, serta tidak menjadi masyarakat yang taqlid
buta.
Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa
menjabat jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan
terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan program
pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa dalam kenyataannya
hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan pandangan baru secara
total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-psikologis. Dengan
melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan menurunkan letak posisi
pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain akan menurunkan posisi
mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan faktor inilah yang menghambat
pemikiran para perencana pembangunan bidang pendidikan selama ini. Andaikata
penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada golongan bukan dari birokrasi, program
pendidikan nasional kita akan jadi lain.
Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga
jangan diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah
yang manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi
manusia yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia
yang berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi
untuk menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah membangkitkan
minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Anak
pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus diberi bentuk
pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan latar
belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang dapat dan perlu
sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak boleh sama untuk
tempat dan kondisi yang berbeda.
Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang” hafalan. Ia
harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode pendidikan aktif-kreatif
agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang. Setiap materi kurikulum
sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi mengajarkan ilmu, melainkan juga
meningkatkan akal budi. Kurikulum matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk
memberi latihan berpikir matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus
bukan suatu hal yang pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk
dijadikan pedoman pada waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau
ensiklopedi.
Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau
agar anak menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah
melaksanakan program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua
orang sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan berbudaya
santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk mengubah watak
budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja keras, bermental ulet
dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa orang pintar yang bertabiat
santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa.
Dalam program pendidikan di Indonesia lebih diutamakan
susunan dan materi kurikulum pendidikan akademik. Akibatnya, sering terjadi
perubahan dan penambahan materi yang serba tanggung sehingga tidak efektif bagi
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Hal itu menjadi lebih buruk lagi
hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar mengajar dengan memakai standard
NEM / NAN tertinggi. Dalam masyarakat yang berprilaku santai, sistem NEM / NAN
mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik dengan cara membocorkan materi
ujian maupun membiarkan murid menyontek atau mengangkat nilai. Oleh karena itu,
fungsi pendidikan sudah berubah dari tujuan mendidik murid menjadi memperalat
murid demi memelihara “nama baik” sekolah. Dan secara tidak langsung telah
memberi pelajaran kepada murid untuk melakukan manipulasi atau melakukan “jalan
pintas”. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, NEM / NAN
tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di bawahnya,
kemampuan murid harus diuji lagi.
Kebijaksanaan program pendidikan di Indonesia dinilai tidak
proporsional dan juga kontroversial. Sejak dari tingkat SD, murid disiapkan
agar mampu menaiki jenjang pendidikan yang paling tinggi. Konsekuensinya,
perguruan tinggi dibangun sebanyak-banyaknya dan jurusan bidang studi diperluas
sebanyak-banyaknya agar dapat menampung sebanyak-banyaknya mahasiswa.
Tampaknya, seperti tidak terpikirkan berapa banyak kebutuhan riil dari pengguna
jasa pada produk perguruan itu.
D.
Strategi
Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan
latar belakang budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak
sama serta lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun
berbeda. Ada beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam
khatulistiwa serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah
memerdekakan tanah airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan,
bangsa Indonesia berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan
bumi utara.
Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji
atau peluang yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya
menyamai posisi yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari
karena otak bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Adil.
Pada umumnya, orang menyalahkan penjajahan Belanda yang
menyebabkan bangsa Indonesia seperti keadaan sekarang. Anggapan itu sebagian
saja yang benar jika mengingat bahwa Aceh belum sampai 40 tahun dijajah dan
Minangkabau 100 tahun. Namun, sikap mental orang Aceh atau Minangkabau praktis
sama dengan suku bangsa yang jauh lebih lama dijajah Belanda. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa kondisi alam yang ramah yang menjadi penyebabnya. Penjajahan
Belanda hanyalah mengekalkan kondisi itu melalui strategi pendidikan di
sekolah.
Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa
manusia hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati
dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan kalah
bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak manusia yang
dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi
sesamanya.
Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti
apa-apa dalam berhadapan dengan bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan
bekerja keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya.
Di masa pendudukan Jepang terjadi banyak kerusakan mental
bangsa Indonesia umumnya. Pemerintah militer Jepang memang banyak membuka
pabrik untuk kepentingan perangnya. Mereka yang mempunyai kemampuan kerja
tangan atau keterampilan mendapat tempat untuk mencari nafkah hidup, baik
sebagai pekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri. Akan tetapi, mereka
yang hanya memiliki ilmu tanpa memiliki keterampilan, memilih “jalan pintas”.
Pola “jalan pintas” itu menjadi kebiasaan yang diterima oleh umum sampai
sekarang.
Mereka tidak salah, melainkan disebabkan oleh kesalahan
sistem dan program pendidikan yang hanya memberikan ilmu pengetahuan tanpa
dibarengi kemauan kerja keras. Akhirnya, pada waktu yang sulit, mereka memilih
“jalan pintas” dengan akal dan ilmunya untuk mengatasi problem hidupnya.
Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah
masa yang berat oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah
air agar setara dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai
sebagaimana yang diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu
melakukan aksi politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke
pemberontakan di satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan
berbagai manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan
kekayaan. Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan
cara-cara “jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam
hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang
semrawut.
Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat pada
kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program
pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara verbal atau
menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan tradisinya.
Tuntutan pemilikan ilmu pengetahuan teknologi menuntut
mental yang berbeda jauh dengan watak bangsa yang berkebudayaan santai. Karena
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang
berakar pada etos kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak
awal bagi bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental santai
itu. Strategi dan program pendidikan perlu diiringi dengan sistem dan metode
yang cocok, yaitu yang mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai manusia
merdeka, mandiri, berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Agar setiap
murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak akan merasa gamang
memasuki masyarakat setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan.
Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak
mungkin dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang
tua mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi
tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang bermental
santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami pentingnya arah
pendidikan bagi generasi baru.
Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi
jurusan bidang studi yang tidak relevan dan fungsional supaya tidak terjadi
pemborosan dana yang terus menerus. Dana yang dihemat itu dapat digunakan untuk
meningkatkan mutu sarana.
Perguruan tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini
tidak menunjukkan tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Yang selalu dinilai ialah mutu dari produknya.
Sesungguhnya merombak atau memperbaiki pola dan program serta sistem pendidikan
itu membutuhkan keberanian moral dari pihak penentu kebijakan politik negara.
BAB III
P E N U T
U P
A. Kesimpulan
Dari latar belakang sampai pembahasan makalah ini, dapat
kami beberkan beberapa kesimpulan tentang Politik dan strategi Nasional
Indonesia yang menyangkut tentang bidang pendidikan meliputi :
1.
Pada
masa pemerintahan Kolonial di Indonesia Sekolah berbahasa Belanda didirikan
bukan bertujuan mendidik bangsa Indonesia agar maju, melainkan disiapkan
menjadi amtenar atau pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki
prestise elitis atau priayi. Selanjutnya Apabila kemudian diperbanyak sekolah
berbahasa Belanda, itu bukan karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar
atau tenaga kerja, melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak
mereka dapat bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas
pengaruh golongan elit “anak jajahan”.
2.
Pada
masa seusai perang kemerdekaan Program dan sistem pendidikan diserahkan saja
kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka
tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan
kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya
dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan
sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.
selanjutnya tentang Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum
diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi
yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa.
Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program
pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur.
3.
Strategi
pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa,
bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. konsep suatu bangsa atau negara
harus diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan
ke arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat
dunia yang maju. Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan
nasional dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara politik,
ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada Pancasila
dan UUD 1945. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan, melainkan menjadi
alat untuk mencapai tujuan.
4.
Kemerdekaan
bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji atau peluang yang luas untuk
mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya menyamai posisi yang dimiliki
bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia
tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa manusia hidup dengan
dinamika yang keras
B. Saran
Walau dalam tulisan ini merupakan
salinan dari berbagai sumber yang kami peroleh baik dari Buku maupun internet,
akan tetapi proses pengeditan merupakan suatu langkah yang sulit kami rasakan
dalam penyelesaian makalah ini. Olehnya demikian adapun beberapa saran serta
harapan kami guna penyempurnaan Makalah-makalah Selanjutnya diharapkan kepada :
1.
Dosen
pengampuh Mata Kuliah ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi kami
sehingga penyusunan dan penulisan Makalah selanjutnya dapat kami selesaikan
dengan sebaiknya.
2.
Rekan-rekan
Mahasiswa Agar apa yang dibaca bukan sekedar “Angin lalu” yang berhembus akan
tetapi senantiasalah dicerna, dianalisa, diinterpretasi dan diberikan sanggahan
serta masukan agar proses diskusi ini dapat berjalan dengan sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Abubakar,
Suardi, dkk. 2005. Kewarganegaraan Menuju Masyarakat Madani. Jakarta:
Yudhistira.
Budiyanto.
2004.Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI.Jakarta:Erlangga.
Pamudji.
S. 1995 Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia.,
Jakarta, Bumi Aksara.
Sjafei. M.
1999. Bunga rampai dan pemikiran A.A.
Navis dalam buku “Filsafat dan Strategi Pendidikan” Jakarta. Gramedia
Tim
MGMP kewarganegaraan. 2004. Kewarganegaraan. Solo: CV. Pustaka Mulia.
Internet :
wikipedia.org/wiki/politik+dan+strategi+nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar