Jumat, 02 Desember 2011

Petikan Wawancara Azumardi Azra


Di Indonesia kita kenal, berbagai bentuk dan jenis pendidikan Islam, seperti Pondok Pesantren, Madrasah, Sekolah Umum bercirikan Islam, Perguruan Tinggi Islam dan jenis-jenis pendidikan Islam luar sekolah, seperti Taman Pendidikan al-Qur’an [TPA], Pesantrenisasi dan sebagainya. Kesemuanya itu, sesungguhnya merupakan aset dan salah satu dari konfigurasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut, sebagai khasanah pendidikan dan diharapkan dapat membangun dan memberdayakan umat Islam di Indonesia secara optimal, tetapi pada kenyataan pendidikan Islam di Indonesia tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaiang dalam membangun umat yang besar ini. Memang terasa janggal dan mungkin juga lucu, karena dalam suatu komunitas masyarakat muslim yang besar pendidikan Islam [Madrasah] kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara optimal. Mungkin ada benarnya, pepatah yang mengakatakan bahwa “ayam mati kelaparan di lumbung padi”, artinya, pada kenyataannya pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas dan seimbang dengan umatnya yang besar di bumi Indonesia ini. Akhir-akhir ini terlihat pendidikan Islam mulai mengalami kemajuan, hal ini terbukti dengan semakin bertambah jumlah [kuantitatif] dan kokohnya keberadaan lembaga pendidikan Islam, artinya masuknya pendidikan agama/madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasional, misalnya pada pendidikan tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah sudah mengikuti kurikulum nasional. Dengan demikian aliyah tidak lagi khusus mengaji atau mendalami masalah-masalah keagamaan sebagaimana dulunya. Namun sudah ada madrasah yang membuka jurusan IPA, sosial, keterampilan dan lain-lain [Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003], serta munculnya beberapa jenis serta model pendidikan yang ditawarkan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun pada kenyataannya tantangan yang dihadapi pendidikan Islam tetap saja kompleks dan berat, karena dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif. Kondisi ini menuntut lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena A.Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght], kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strtaegi dan taktik 1Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
Hal itu menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya (M.Arifin, 1991:3). A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban (A. Syafii Maarif, 1996: 5). Mencermati kondisi tersebut di atas, penataan sistem dan model-model pendidikan Islam di Indonesia adalah sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Sistem pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak dan senteral yang akan menjadi model dasar untuk usaha pengembangan model-model pendidikan Islam selanjutnya, dengan tidak meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah dan madrasah, masjid, pondok pesantren, dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap dipertahankan keberadaannya. Yahya Muhaimin [mantan Menteri pendidikan Nasional], juga “menawarkan sebuah mindmp tentang basis-basis pendidikan, yaitu pendidikan berbasis keluarga [family-based education], pendidikan berbasis komunitas [community-based education], pendidikan berbasis sekolah [school-based education], dan pendidikan berbasis tempat kerja [workplace-based education]” (Yahya Muhaimin,2000:1). Dari pandangan Yahya Muhaimin tersebut, apabila dicermati model-model pendidikan Islam sekarang ini sekurang-kurangnya berbasis pada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran dalam memberdayakan umat, yaitu pendidikan Islam berbais pondok pesantren, pendidikan Islam berbasis pada Mesjid, pendidikan Islam berbasis pada sekolah atau madrasah, dan pendidikan Islam berbasis pada pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Lembaga pendidikan yang berbasis pada pondok pesantren, sebagai model pendidikan Islam yang dapat mengembangkan atau memperluas sistem pendidikan nonformalnya pada pelayanan pendidikan yang meliputi berbagai jenis bidang misalnya, seperti pertanian, peternakan, kesehatan, kesenian, kepramukaan, iptek, dan pelbagain keterampilan, kemahiran dan sebagainya. Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya. Adapun peran jenis pendidikan yang berbais pada madrasah dan pendidikan umum yang bernafaskan Islam, adalah dalam upaya menemukan pembaruan dalam sistem pendidikan formal yang meliputi metode pengajaran baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, lingkungan yang mendidik, guru yang kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya sangat diperlukan (Suroyo, 1991: 77-78). Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Tetapi Steenbrink, mengkategori pendidikan tersebut dalam tiga jenis, yaitu pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentrean, madrasah dan sekolah. Ketiga jenis pendidikan ini diharapkan menjadi “modal” dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik-metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral [interdisipliner] akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini berkembang. Pada sisi lain, muncul pula jenis pendidikan luar sekolah bagi anak-anak muslim dengan model pesantrenisasi dan TPA [Taman Pendidikan al-Qur’an]. Pendidikan pesantrenisasi sebagai jenis pendidikan Islam yang muncul sebagai kekuatan pendidikan Islam, walaupun dilaksanakan secara insidental pada setiap bulan Ramadlan, tetapi terencana dan terprogram oleh sekolah-sekolah. Artinya, pada liburan bulan Ramadlan peserta didik dikonsentasikan atau “dikemkan” pada suatu tempat untuk mendapatkan ceramah-ceramah agama Islam dan paraktek-praktek ibadah selama satu minggu atau lebih. Tetapi sayangnya pendidikan model ini belum ditintak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan organisasi. Kemudian, terdapat pula “Taman Pendidikan al-Qur’an” [TPA], sebagai kekuatan pendidikan Islam yang muncul dengan metode dan teknik baru yang dapat menghasilkan output yang mampu membaca al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Dapat kita saksikan produk TPA dengan bangga di wisuda oleh seorang Menteri bahkan tidak tanggung-tanggung oleh Presiden [zaman Presiden Soeharto]. Tetapi sampai saat ini belum terpikirkan tindak lanjut dari usaha pendidikan ini, karena selesai wisuda selesailah usaha pendidikan tersebut. Tetapi, harus diakui bahwa jenis pendidikan Qur’an ini, merupakan hasil inovasi dari model pengajaran al-Qur’an model lama. “Model pendidikan TPA yang ada sekarang merupakan hasil inovasi pendidikan dan perbaikan model pengajaran al-Qur’an tempo dulu itu. Maka dalam model TPA, seorang peserta didik tidak perlu berlama-lama belajar membaca al-Qur’an. Dalam waktu singkat ia telah dapat menguasainya, maka apabila dilihat dari segi didaktik metodik, TPA lebih efektif dan efisien dari pada model pengajaran al-Qur’an model lama1 (Hajar Dewantoro,1997:90). Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal sbagai “sekolah Islam”. Sekolah-sekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal dan diakui oleh banyak kaum Muslim sebagai “sekolah unggulan” atau “sekolah Islam unggulan”. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah tersebut adalah “SMU Model” atau “Sekolah Menengah Umum [Islam] Model”. Dapat saja disebut, sekolah Islam al-Azhar yang berlokasi di komplek Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, dengan beberapa cabang seperti Cirebon, Surabaya, Sukabumi, Serang, Semarang dan sebagainya. Sekolah al-Izhar 2 di Pondok 2 Sekolah al-Izhar, milik yayasan Anakku, awalnya merupakan sebuah cabang dari sekolah al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta. Karena konflik-konflik yang terjadi antara para pengurus Labu, Jakarta, SMU Insan Cendekia 3 di Serpong dan SMU Madinah di Parung. Selain itu, masih muncul pula madrasah elite lain yang juga menjadi madrasah favorit, sebagai contoh adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Malang, Jawa Timur (Azyumardi Azra,1999:75-79). Sekokolah Dasar (SD) Muhammadiyah Sapen, Yogyakarta yang menjadi Sekolah Dasar bercirikan Islam yang menjadi faforit dan menjadi sekolah percontohan dan mungkin masih banykah sekolah-sekolah Islam dan Madrasah di daerah lain yang belum disebutkan dalam pembahasan ini. Sekolah-sekolah tersebut dapat dikatakan sebagai “sekolah elite” Islam, karena sejumlah alasan yang mendasarinya. Alasan pertama bahwa sekolah-sekolah tersebut bersifat elite dari sudut akademis, dalam beberapa kasus hanya siswa-siswa terbaik yang dapat diterima sekolah-sekolah tersebut melalui seleksi yang kompetitif. Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut hanyalah mereka yang memenuhi persyaratan yang dapat diterima dan melalui seleksi secara kompetetif. Sekolah-sekolah tersebut dikelolah dengan manajemen yang baik dengan memiliki berbagai sarana pendidikan yang jauh lebih baik dan lebih lengkap, seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, ruang komputer, masjid dan sarana olahraga. Semua itu membuat peserta didik di sekolah-sekolah tersebut jauh lebih baik secara akademis bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah Islam lainnya dan bahkan dengan sekolah umum yang disekolah oleh pemerintah. Dari perkembangan sekolah-sekolah ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan para ahli pendidikan Islam mulai percaya bahwa kualitas pendidikan madrasah dapat ditingkatkan, artinya bahwa pendidikan berkualitas yang ditawarkan madrasah akan dapat “dibeli” oleh kalangan orang tua Muslim. Maka tanpaknya, kita harus berusaha melakukan koreksi secara cepat dan cermat tentang program-program pendidikan pendidikan Islam yang sedang dijalankan, sehingga perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum dalam konfigurasi pendidikan nasional dapat dipersempit, artinya, secara kualitas pendidikan Islam harus mendapat kesempatan yang luas dan seimbang dengan umatnya yang besar di bumi Indonesia ini. Apabila kita menginkan pendidikan Islam dapat bersaing dengan pendidikan lain, tentu saja persoalan visi, misi, tujuan, fungsi, metode, materi dan kurikulum, orientasi, manajemen dan organisasi pendidikan Islam, harus dikoreksi, direvisi dan bahkan direformasi secara berani, sehingga pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang menarik minat peserta didik tanpa mengurangi prinsip-prinsip ajaran dari sumber pokok Islam yaitu Qur’an dan Hadis. Apabila persoalan tersebut dilakukan secara baik, terencana dan terprogram, pendidikan Islam akan menjadi lebih solid dalam
kedua sekolah tersebut dan berakhir di pengadilan, dan “al-Azhar Pondok Labu” diperintahkan hakim untuk tidak menggunakan nama al-Azhar, dan pada tahun 1992, sekolah tersebut menggunakan nama baru yaitu “al-Izhar”[Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,… hlm. 74]. 3SMU Insan Cendekia didirikan oleh kelompok ilmuwan dan intelektual Muslim yang kebanyakan bekerja pada Badan Pengkajian, Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dahulunya dipimpin oleh B.J. Habibie. Karena itu sekolah ini memiliki ikatan emosional dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) dan bahkan sekolah ini juga dikenal sebagai “sekolah Habibie” [Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernitas…, hlm. 77]. memberdayakan umat Islam di Indonesia dan siap menghadapi tantangan globalisasi serta tantangan reformasi diberbagai bidang kehidupan berupa demokrasi pendidikan, membangun etos kerja, profesionalisme, memiliki kemampuan emosional dan moralitas agar dapat membangun masa depan yang lebih baik, lebih maju, damai, adil dan lebih sejahtera, sehingga terwujud masyarakat baru Indonesia yang rahmatan lil’alamin. Dalam upaya mencari pola atau model alternatif pendidikan Islam di Indonesia, hendaknya pengembangan pendidikan Islam menitikberatkan atau berorientasi kepada visi dan misi, fleksibilitas, relevansi pendidikan di sekolah [formal] dan pendidikan di luar sekolah [non formal]. Artinya keluwesan sistem dan kerjasama antara bentuk lembaga pendidikan Islam itu, akan melahirkan model alternatif baru dewasa ini dan masa mendatang. Dalam upaya mencari “model alternatif pendidikan Islam” yang akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia, paling tidak ada tiga pendekatan yang ditawarkan sebagai pola alternatif pendidikan Islam, yaitu pendekatan sistemik, suplemen dan pendekatan komplementer. [1] Pendekatan sistemik, yaitu perubahan harus dilakukan terhadap keseluruhan sistem pada lembaga pendidikan Islam formal yang ada, dalam arti terjadi perubahan total. [2] Pendekatan suplementer, yaitu dengan menambah sejumlah paket pendidikan yang bertujuan memperluas pemahaman dan penghayatan ajaran Islam secara lebih memadai. Langkah ini yang sering dilakukan dengan istilah yang populer adalah “tambal sulam”. [3] Pendekatan komplementer, yaitu dengan upaya mengubah kurikulum dengan sedikit radikal untuk disesuaikan secara terpadu (Suroyo,1992:64). Artinya, untuk kondisi sekarang ini, perubahan kurikulum pendidikan Islam harus diorientasikan pada kompetensi yaitu kompetensi knowledge [pengetahuan], skill [keterampilan atau kemahiran], kompoetensi ability [memiliki kemampuan tertentu], komptensi sosial-kultural, dan kompetensi spritual ilahiyah. Dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, yaitu : Pertama, harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam harus dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu kerangka filosofis yang jelas dan baku. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dijauhkan dari buaian hellenisme yang diberi jubah Islam dan kita harus berada pada sumbu Islam, al-Qur’an, Hadis dan karir yang pernah diraih nabi Muhammad Saw. Maka kita tidak perlu berteriak, mari kita Islamkan ilmu modern”, yang hanya akan mengulangi hal serupa, yaitu pendidikan Barat yang dijustifikasikan dengan ayat-ayat Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut, yang pertama kali harus dimiliki adalah kemandirian dalam segala aspek. Dengan kemandirian tersebut, akan melindungi proses pengembangan pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan memperkosa proses pengembangan pendidikan Islam untuk tetap bersiteguh berdiri pada konsep yang murni dari al-Qur’an dan al-Hadis untuk memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim ini, (Ahmad Syafii Maarif, 1997: 67). Memang diakui, bahwa untuk mengikis habis persoalan dikotomik bukan hal yang mudah, karena akan berhadap dengan kontraversi pemikiran antar pemikiran kovensional [tradisional] dengan pemikiran kontemporer modern. Tetapi pada sisi lain, diakui bahwa secara malu-malu pendidikan Islam telah melakukan perubahan dengan mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Misalnya saja, kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama [Depag] dengan memperkecil perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam secara malu-malu, istilah Azyumardi “malu-malu kucing” dan istilah Karel Steembrink, “menolak sambil mengikuti”. Artinya, pada akhirnya pendidikan Islam juga melakukan proses adaptasi dengan mengembangkan sistem mengikuti pendidikan umum. Maka kita harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an. Azyumardi, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan, keknian, masa depan dan kemanusian agar compatible dengan perkembangan zaman [Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003]. Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Artinya lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja. Hal itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral” (A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,:52). ilahiyah. Memang diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam dan terampil dalam melaksanakannya [psikomotorik], tetapi kurang menghayati [afektif] kedalaman maknanya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama [spritual ilahiyah], ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah. Selain persoalan tersebut, pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi. Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu: [1] Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusia [insaniyah], dan masyarakat, serta budaya. [2] Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah [otonomi daerah] dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas. [3] Meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat. Dari uraian di atas, menegaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mendisain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Muncul pertanyaan model-model pendidikan Islam yang bagaimana? Yang diharapkan dapat menghadapi dan menjawan tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural menuju masyarakat Indonesia baru. Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat (A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,:37). Tawaran Hasim Amir ini, yang dikutip A. Malik Fadjar, dapat digunakan sebagai konsep pendidikan Islam dalam menghadapi perubahan masyarakat Indonesia, yaitu : Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah [Ketuhanan], insaniyah [kemanusiaan] dan alamiyah [alam pada umumnya], sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial. Pendidikan integralistik diharapkan dapat menghasilkan manusia [peserta didik] yang memiliki integritas tinggi, yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian belah atau kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga, memlihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersumber dari konsep Ketuhanan [Teosentris], artinya pendidikan Islam harus berkembang dan dikembangkan berdasarkan teologi tersebut. Konsep kemanusiaan, artinya dengan konsep ini dapat dikembangnya antropologi dan sosiologi pendidikan Islam, dan konsep alam dapat dikembangkannya konsep pendidikan kosmologi dan ketiga konsep ini harus dikembangkan seimbang dan integratif. Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia [humanisasi], yakni
makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya. Pendidikan humanistik, diharapkan dapat mengembalikan peran dan fungsi manusia yaitu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk [khairu ummah]. Maka, manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapat mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat menghormati dan dihormati, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, sifat menghargai hak-hak asasi manusia, sifat menghargai perbedaan dan sebagainya. Ketiga, penddidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanausiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan siatuasi yang tidak manusiawi. Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu. Maka dengan model pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain (A. Malik Fadjar,1999:37-39). Tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat. Selanjutnya, dari keempat model yang dikemukakan di atas, dapat ditarik lagi pada disain model pendidikan Islam yang lebih operasional, yaitu: Pertama, mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Dengan demikian, visi, misi dan tujuan pendidikan, kurikulum dan materi pembelajaran, metode pembelajaran, manajmen pendidikan, organisasi dan sumber daya pendidikan [guru dan tenaga administrasi] harus disesukan dengan kebutuhan serta sesuai misi, visi dan tujuan pendidikan tersebut. Model pendidikan umum Islami, kurikulumnya bersifat integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, sehingga mampu mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara
komprehensif. Atau meminjam istilah Fazlur Rahman, yaitu model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, untuk melahirkan intelektualisme muslim yang tangguh, walaupun Ahmad Syafii Maarif, menolah hal ini yaitu kita tidak perlu berteriak untuk mengislamkan ilmu modern. Kedua, model pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada disain “pendidikan keagamaan” seperti sekarang ini. Artinya, harus mendisain ulang model “pendidikan Islam” yang berkualitas dan bermutu, yaitu : [1] dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas, [2] kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat untuk dapat menjawab tantangan perubahan, [3] metode pembelajaran diorientasikan pada upaya pemecahan kasus [promlem solving] dan bukan dominasi ceramah, [4] manajemen pendidikan diorientasi pada manajemen berbasis sekolah, [5] organisasi dan sumber daya guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan dan melahirkan mujtahid-mujtahid yang tangguh, berkualitas dan berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan perubahan zaman. Disain model pendidikan seperti ini, harus secara “selektif menerima” pendidikan produk barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia. Kata Fazlur Rahman, apabila kita ingin membangun pendidikan Islam yang berkualitas, harus kembali kepada al-Qur’an dan Qur’an harus ditempatkan sebagai pusat intelektualisme Islam (Fazlur Rahman, 1985:1). Ketiga, model pendidikan agama Islam tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah formal tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga, mesjid dan lingkungan masyarakat [tempat-tempat pengajian dan Masjid] dalam bentuk kursur-kursus, kajian-kajian keagamaan, keterampilan beribadah dan sebagainya. Pendidikan agama akan menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat atau meminjam konsep Yahya Muhaimin yang dikemukakan terdahulu bahwa pendidikan berbasis keluarga [family-based education] dan pendidikan berbasis pada masyarakat [community-based education]. Pendidikan Islam, dapat ditanamkan dan disosialisasikan secara intensif melalui basis-basis tersebut, sehingga pendidikan agama sudah menjadi kebutuhan [need] dan based dalam pribadi peserta didik. Maka dalam proses belajar mengajar di sekolah pendidikan agama telah menjadi kebutuhan dan prilaku [afektif dan psikomotorik] yang aktual, bukan lagi berupa pengetahuan [knwoledge] yang dihafal [kognitif] dan diujikan secara kognitif pula. Keempat, disain model pendidikan diarahkan pada dua dimensi, yakni: [1] dimensi dialektika [horisontal], pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan [2] dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri
kehidupan yang abadi dengan Maha Pencipta (M. Irsyad Sudiro, 1995:2). Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati, artinya pendidikan harus membangun hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan lingkungan. Keempat model pendidikan Islam yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain dan model pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki masyarakat madani Indonesia. Kecenderungan perkembangan semacam, dalam upaya mengantisipasi perubahan zaman dan merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan, sehingga pendidikan tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern, post masyarakat modern dan masyarakat global. Dengan demikian, apapun model pendidikan Islam yang ditawarkan dalam masyarakat Indonesia, pada dasarnya harus berfungsi untuk memberikan kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai ilahiyah, pengetahuan dan keterampilan, nilai-nilai demokrasi, masyarakat dan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, sebab pada saat yang sama pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta. Azra, Azyumardi.,1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta. -------,Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, http:// islamlib. com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003 Dewantoro, Hajar., 1997, “Urgensi Inovasi Pendidikan dalam Pemberdayaan Umat”, dalam : Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ [Penyunting], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi, Aditiya Media, Yogyakarta. Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia. Maarif, A.Syafii., 1996, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Pondok Gede, Jakarta. Muhaimin, Yahya [Menteri Pendidikan Nasional], 2000, “Reformasi Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK Penabur Jakarta, Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: http://www.bpk.Penabur.or.id/KPS.Jkt/ widya/69/69.pdt.Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.
--------,1992, ”Pendidikan Islam di Indonesia Merancang Masa Depan”, UNISIA,No.12 Th. XIII,1992,UII,Yogyakarta. Sudiro, M. Irsyad., Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, Tanggal, 30 Agustus – 1 September 1995.
Steenbrink, Karel A., 1994, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Cet. Kedua, Jakarta: LP3ES, Syafii Maarif, Ahmad., 1997, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa, dalam: Muslih Usa [Penyun.], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi, Aditya Media bekerja sama dengan Fakultas Tarbiyah UII, Yogyakarta. Rahman, Fazlur., 1985, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar